|
Profil Lautan Cinta Catatan Perjalanan Galeri Artikel Dokter ABG Buku Tamu
|
|||||||||
Lautan Cinta Catatan
Perjalanan Galeri Artikel
|
AKU DAN ABA
"saudaranya Aba ?" lanjut mereka, "Iya" jawabku mantap. "bisa masuk ? nggak enak di luar" tawar mereka, "duduk" mereka menyodorkan kursi, aku duduk dan masih terheran-heran dengan sikap mereka, suasana kaku belum juga mencair. Akhirnya dengan hati-hati satu orang dari mereka mulai bicara. "Begini....Aba sudah meninggal", "Haahhh ?!!, apa ?!", aku tak percaya dengan yang baru saja kudengar. "Iya.....seminggu lalu, sebelumnya Beliau sempat masuk rumah sakit, keluarganya yang di kampung sudah membawa jenazahnya dan dikebumikan disana. "Aba......" desisku, tenggorokan ku terasa tercekat, berat menyebut namanya, tubuhku terasa ringan, mataku berkaca-kaca, tanpa menunggu lama aku segera pamit tak lupa ku ucapkan terimakasih. Lututku terasa lemas, undak-undakan tangga yang kuturuni terasa menyiksaku, setiap satu anak tangga yang kuturuni semakin bertambah pula rasa kehilanganku terhadap Aba. Butir-butir air pada pelupuk mataku tumpah tak tertahankan lagi. Sepanjang perjalanan pulang aku menangis tak menghiraukan tatapan heran orang-orang yang berpapasan denganku. Perasaanku bercampur baur jadi satu, aku menangis karena menyesal dan menyalahkan diriku sendiri, teman, sahabat seperti apa aku ? sampai aku tidak tahu saat-saat terakhir Aba, bahkan aku baru mengetahui Beliau telah tiada seminggu kemudian. Aba......disaat aku ingin berbagi kebahagiaanku karena ulang tahunku besok, Aba sudah tiada....kejadian yang bertolak belakang yang membuatku lunglai dalam suatu perenungan. Air mataku semakin deras ingat kebaikan-kebaikannya, ingat senyum lebarnya kalau melihatku datang, ingat ketabahan dan keikhlasannya, ingat semangatnya...... "Indah suka permen ?" tanpa menunggu jawabanku, setengah toples permen Beliau bungkuskan. "Aba nggak usah !, ini khan untuk jualan", Beliau menatapku tajam "nggak boleh Aba kasih sesuatu untuk teman Aba ?!, kayak orang lain aja !", Beliau membantahku, dengan cepat bungkusan itu Beliau pindahkan ke dalam tasku. Kalau sudah begitu aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi, paling hanya menatapnya sambil geleng-geleng kepala dan berdesis kecil "Aba.....Aba.....", Beliau pun akhirnya tersenyum penuh kemenangan. "seminggu lagi pisang masak, awas yaaa kalau nggak datang !" ingatan-ingatan tentang ketulusannya berloncatan dalam memoriku. Sekarang setiap aku lewat fak hukum itu rumpun pohon pisang kesayangannya sudah menyemak tak terawat. Tangan-tangan jahil hanya mengambil buahnya saja tanpa membenahi lagi pelepahnya. Ruangan dimana Beliau selalu disana kini selalu terkunci dan bisu.
Aba......... In memoriam Aba Allaah Sayang Aba dan Aba tetap hidup dalam hatiku Awal November 2000
|